We accept the love we think we deserve.
Haha, telat banget ya gue masukin film ini ke blog gue, wkwk. Gue bukan penggemar Logan Lerman ataupun Emma Watson, gue juga belum baca novelnya. Terus, apa yang membuat gue tertarik dengan The Perks of Being a Wallflower? Simple, banyak review yang bilang nih film bagus. Akhirnya gue kepo sendiri dan memutuskan untuk beli DVD
Meet Charlie (Logan Lerman), anak yang paling gak eksis di sekolahnya. Udah gak punya temen, kakaknya Charlie gak ngebolehin dia buat duduk bareng kakaknya. Pada suatu hari, Charlie memberanikan diri untuk berkenalan dengan Patrick (Ezra Miller), 'veteran' yang duduk bareng dia di shop class. Tidak hanya berkenalan dengan Patrick, Charlie juga berkenalan dengan Sam (Emma Watson) saudara tiri Patrick. Sejak Charlie berkenalan dengan mereka berdua, Charlie merasakan hidup sesungguhnya: pesta, hangout bareng teman, belajar bareng, dan tentu saja jatuh cinta.
Oh. My. God. Charlie mirip sama gue. Astaga, sumpah, gue benar-benar bisa relate dengan perasaannya dia waktu first day of school. Perasaan takut gak punya teman, gak kenal siapa-siapa, takut di-bully, I can relate all of that feelings!
Jalan ceritanya simpel, tentang bagaimana Charlie berusaha survive in high school dengan teman-temannya. Tapi gue kurang suka dengan cerita cinta segitiganya Charlie, Sam, dan Mary Elizabeth (Mae Whitman). It's just super cliche. Do we need a fucking love triangle in every teenage movie?
Berbagai karakter di The Perks of Being a Wallflower mempunyai keunikan masing-masing. Entah itu Sam dan Patrick yang mempunyai selera musik yang keren, Mary Elizabeth yang suka dengan gaya gotik tapi menganut Budha, ataupun Alice (Erin Wilhelmi) yang sebenarnya kaya tapi suka nyolong jeans. Hal ini mempunyai sisi positif dimana semua karakter mempunyai peluang untuk membuat impact atau menjadi memorable. Tapi sisi negatifnya, Steven Chobosky terlihat keras untuk membuat karakter-karakter yang unik. It's quite hardly to believe that a group of people who are very unique and have little in common can be close friends. But hey, it's a movie, it doesn't have to be so realistic.
Ada suatu titik dimana gue benci film ini karena gue merasa kesal dengan tokoh-tokohnya. Sam menurut gue slutty alias gampangan (dan tanpa alasan yang jelas), Patrick dengan mudah meninggalkan Charlie tanpa mendengar penjalasannya, Mary Elizabeth dengan ke-GRannya pada Charlie, dan Alice dan Brad yang hampir gak relevan di film ini. Tapi lama-kelamaan gue bisa menerima hal itu karena realita seperti itu. Tidak semua orang punya loyalitas yang tinggi, banyak orang yang geer because they are too desperate to be loved, ada juga orang yang melakukan sesuatu tanpa mempedulikan perkatan orang lain, dan tidak semua orang relevan, entah itu di film, SMA, pekerjaan, dll. It's the reality, and Chbosky just wanted to show the ugly truth. Bandingkan saja dengan film-film remaja lain dimana tokoh-tokohnya mempunyai loyalitas tinggi terhadap temannya, ataupun tokoh yang menggunakan seks sebagai pelarian atau karena trauma.
I don't know about you, tapi gue kadang merasa agak bosan di tengah-tengah film ini. Entahlah, soundtracknya-nya emang keren semua, tapi ada sesuatu dari film ini yang agak plain. Hal ini bisa saja disebabkan oleh karakter Charlie yang too plain for my liking. I understand that not all of us (and movie characters) are blessed with dry and sarcastic sense of humor, but like I said before, it's a movie. Chbosky harusnya bisa memberikan sedikit 'aksesoris' pada karakter Charlie. Karakternya lumayan datar. Menurut gue, dia terlalu polos dan penakut, bahkan untuk bersenang-senang dengan temannya. Gue tahu bahwa di film ini dia sempat mengkonsumsi narkoba, tapi selain itu, (dan di ending film) dia gak pernah benar-benar have fun dengan teman-temannya. Lo tahu adegan dance di film The Breakfast Club? Itulah have fun yang gue maksud, dimana Charlie just loosen up and being free, not consuming drugs. But on the other hand, Chbosky menunjukkan bahwa persahabatan atau pertemanan di dunia nyata tidak seindah seperti kebanyakan film Hollywood. Tidak semua dari kita bisa dengan lancar menuangkan perasaan dan pemikiran kita kepada teman-teman kita, bahkan terkadang, sahabat kita.
Gue pengen banget Chbosky menggunakan pendekatan yang lebih psikologis terhadap Charlie. Menurut gue, Perks of Being a Wallflower kurang menjelaskan hubungan Charlie dengan orangtuanya. Gak cuma sama Charlie sih, gue juga pengen Chbosky menggunakan pendekatan psikologis terhadap Sam. Sampai sekarang gue kepo apa yang mendorong Sam menjadi seperti 'itu'.
Aktingnya bagus-bagus, but not really makes me 'wow'. Pengecualian untuk Ezra Miller karena aktingnya dia keren dan bagus banget. Miller berhasil sekali dalam memerankan cowok yang ceria dan ekspresif namun mempunyai rahasia yang gelap dan beban emosi yang cukup berat. Gak cuma aktingnya yang keren, tampangnya bang Ezra Miller juga keren, hehe.
Anyway, I really love the soundtracks! Walaupun gue bukan remaja 90an, gue tetap enjoy lagu-lagu dari film ini. Apalagi ada Something - The Beatles yang notabene lagu kesukaan gue dari band paporit gue, long live The Beatles, yea! Sumpah, soundtrack-nya The Perks of Being a Wallflower menambah koleksi lagu-lagu rock di HP gue. Lagu favorit gue --> Come on Eileen - Dexy's Midnight Runners, pertama kali dengar nih lagu langsung download lagunya dan cari liriknya. I personally think The Perks of Being a Wallflower is a wet dream for anyone who loves rock or 90's music.
Film ini menunjukkan hanya karena hidupmu 'suram', bukan berarti itu tidak bisa membuatmu menonton Rocky Horror Picture Show (which is my favorite scene), merayakan natal bersama teman, sedikit berpesta, ataupun melakukan pose Titanic diatas truk yang sedang berjalan. The point is, sesuram-suramnya hidup lo, lo bisa mengalahkan kesuraman itu dengan bersenang-senang dan tertawa. Not only that, The Perks of Being a Wallflower membuat gue cukup bersyukur dengan situasi sekolah di Indonesia? Kenapa? Karena bullying di SMA-SMA Indonesia gak separah di Amerika. Lihat saja, Charlie saking gak punya teman, cuma bisa temenan sama senior-seniornya. Separah-parahnya gue, gue masih punya lebih dari satu teman di kelas gue.
Overall, The Perks of Being a Wallflower is a realistic-but-not-depressing and enjoyable-but-not-fantastical coming of age film. 8,7/10
pic cr:
cinecritical.com
popcornaddiction.com
hendriologi.blogspot.com