The Devil All The Time
Type Here to Get Search Results !

The Devil All The Time


Istilah "manusia lebih jahat daripada setan" berlaku terhadap film ini. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama oleh Donald Ray Pollock berlatar belakang di Ohio, Amerika, setelah Perang Dunia II. Film ini mengikuti Willard (Bill Skaarsgard), veteran PD II, yang jatuh cinta kepada Charlotte (Haley Bennet). Mereka mempunyai seorang putra bernama Arvin (Tom Holland). Tragedi mulai jatuh ketika Charlotte sakit. Willard yang desperate untuk menyelamatkan Charlotte, menjadi lebih fanatik lewat doa-doanya, bahkan mengorbankan anjing milik Arvin. Charlotte tetap mati dan Willard bunuh diri. Arvin dibantu oleh Sheriff Bodereck (Sebastian Stan) sebelum dikirim untuk tinggal bersama neneknya, pamannya, dan Lenora (Eliza Scanlen).


Lenora dan Arvin bonding sebagai sesama anak yatim piatu. Lenora dibully oleh anak SMA sekitar karena ketaatannya terhadap agamanya. Arvin hanya ikut ke gereja demi menyenangkan neneknya. Insecurity Lenora dieksploitasi oleh pendeta baru, Preston Teagardin (Robert Pattinson). Sementara itu, Sheriff Bodereck mempunyai kecurigaan terhadap kegiatan adiknya, Sandy (Riley Keough). Bodereck menemukan foto aneh di rumah Sandy dan suaminya, Carl (Jason Clarke).




The Devil All the Time merupakan ujian pertama Tom Holland dalam akting yang lebih serius. Tidak hanya akting serius, Holland juga harus belajar menggunakan aksen semi-southern. Berbeda tentu dengan Pattinson yang memang on the rise as a serious actor. Seluruh pameran berakting dengan bagus di film ini, gak ada yang bolong. I personally want to give extra shoutout to Eliza Scanlen, yang benar-benar menangkap kerelijiusan dan insekuritas Lenora. 


Mungkin sudah bisa ditebak bahwa film ini akan berbicara tentang agama, specifically Christianity. Film ini tidak menyerang agama Kristen, hanya mengkritik fanatisme keras pengikutnya. Namun, menurut gue kritikan tersebut kurang relevan, tidak baru, dan tidak berani. Fanatisme relijius di film ini berlatar belakang tahun 50an dan di daerah rural. Ini era di mana pendidikan tidak seaksesible sekarang dan tokoh-tokohnya tidak punya banyak kesempatan untuk menjelajah dunia. Tentu wajar jika mereka bergantung pada agama. Kenyataannya, fanatisme sinting macam film ini bisa terjadi zaman sekarang dan di kota besar. Lihat saja gereja kultus di Seoul yang menyebarkan Covid-19, atau masjid di kota yang menyebarkan bibit intoleransi. Justru akan lebih menarik untuk melihat fanatisme relijius di era modern dan di perkotaan. Seandainya "The Devil All the Time" dibuat di Indonesia di era sekarang, atau di Amerika tapi lebih awal, mungkin akan terasa lebih berani atau baru. 


The religious background doesn't get anywhere, which is a shame. Apalagi kita semua udah pernah dengar preacher/reverend yang melecehkan jemaatnya. Orang tua yang memaksakan nilai agama ke anak juga familiar. Hampir gak ada eksplorasi lebih dalam dari fanatisme dan tokoh-tokoh itu. Fanatisme relijius hanya untuk props dari cerita Arvin dan tokoh-tokoh lainnya.


Tapi ada satu aspek yang gue setuju adalah orang yang posisinya lemah secara psikologis, akan lebih mudah untuk dicuci otaknya. Contohnya tentu saja Willard yang makin relijius ketika istrinya sakit, dan Lenora yang terlalu percaya kepada Pendeta Teagardin. Yang menarik juga adalah perbedaan antara Willard dan Arvin dalam menghadapi trauma. Willard mulai kembali menjadi relijius karena pengalamannya yang mengerikan di PD II. Trauma masa kecil Arvin justru membuatnya menjadi apatis terhadap agama, bahkan tidak menyukai Teagardin.


Gue juga suka film ini gak pakai tetek bengek supernatural atau magical realism kayak The Green Mile. Ada sense of realism yang menambah horor. Di dunia nyata kekejaman dan sisi gelap bukan datang dari setan atau devil, but the humans all the time. Apalagi kekejaman itu dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi orang lain, seperti ayah, pendeta, dan polisi.


Film ini sifatnya non-linear dan semi-hyperlink kayak Magnolia atau Contagion. Jadi filmnya akan lompat-lompat perspektif. Menurut gue backstory-nya agak panjang dan boring. Backstory-nya juga agak memperlambat film dengan beberapa hal yang bisa di-skip. Editing-nya gue pribadi juga kurang sreg karena sekali atau dua kali gue agak kesusahan dengan ngikutin nama-nama tokoh di film dan koneksi mereka tokoh yang lain.


Overall, The Devil All the Time punya jajaran aktor yang solid, sinematografi yang apik, dan music score yang memperkuat atmosfer film. Sayang ceritanya kurang mendalami isu sosial yang diceritakan, dan tidak terasa baru dan berani. 6,5/10





Top Post Ad

Below Post Ad