Joko Anwar kembali sebagai penulis dalam film Ratu Ilmu Hitam. Film ini merupakan remake dari film Suzanna yang berjudul sama, yang dirilis tahun 1981. Meskipun mempunyai judul yang sama, film ini merupakan film yang berbeda dengan film Suzanna.
Film ini diawali dengan perjalanan sebuah keluarga menuju panti asuhan sang ayah, Hanif (Ario Bayu). Ia pergi bersama seluruh keluarganya, yang terdiri dari sang istri, Nadia (Hannah Al-Rashid), ketiga anak mereka, Sandi (Ari Irham), Dina (Zara), dan Haqi (Muzzaki Ramdhan). Mereka mengunjungi panti asuhan tersebut, karena pemilik panti asuha, Pak Bandi (Yayu Unru), sakit keras. Di sana, sang ayah bertemu kembali dengan kedua temannya, yaitu Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan), yang datang bersama istri mereka masing-masing.
Hanif yang penasaran, dengan cepat menemukan misteri dan rumor yang mengerikan mengenai Ibu Mirah (Ruth Mirana), seorang mantan pengurus panti asuhan yang konon meninggal di panti tersebut. Meningalnya Ibu Mirah berkaitan erat dengan hilangnya Murni, salah satu anak panti asuhan yang dikenal oleh Hanif dan teman-temannya. Satu per satu, teror mendatangi semua orang di panti tersebut.
Ada salah satu dialog yang menarik dari film ini yang versi tahun 1981. Konteksnya, kepala desa memprotes perlakuan terhadap ibunya tokoh Suzanna yang diperlakukan semena-mena hanya karena anaknya dituduh tukang santet. Si kepala desa mengatakan, sebagai negara hukum, harusnya diselesaikan secara hukum. Namun si pembuat onar mengatakan bahwa santet sudah di luar ranah hukum.
Baik versi tahun 1981 dan versi tahun 2019 mempunyai beberapa benang merah. Salah satunya adalah absence of justice bagi korban kekerasan. Salah satu faktor yang membuat ketiadaan keadilan dalam film ini adalah jauhnya panti asuhan tersebut. Mendapatkan sinyal susah dan mencapai jalan tol juga susah.
Pada akhirnya, hukum menjadi sia-sia karena ia tidak bisa dijangkau oleh si korban baik secara fisik maupun psikologis.
Tapi, kadang yang membuat hukum menjadi seakan-akan tidak ada atau tidak hidup dalam masyarakat, bukan karena ia "jauh", tapi masyarakat itulah yang tidak bisa menerimanya. Makanya dalam hal ini gue lebih suka penggambaran masyarakat di film yang asli. Kalau kita melihat dari skandal Harvey Weinstein, ia bisa lari dari hukum karena ia tidak sendiri dan the system secara nyata menormalisasikan tindakannya. Agak disayangkan film ini kurang memperhatikan dari sisi the big picture, karena seakan-akan yang terjadi adalah there's this one bad guy. Di sisi lain, film ini juga membuat gue bertanya-tanya: bagaimana posisi moral preteen atau manusia belum dewasa, yang sengaja atau tidak sengaja, membantu si pelaku kekerasan seksual?
Namun, satu hal dari dunia nyata yang direfleksikan film ini adalah fakta bahwa pelaku kekerasan seksual tak jarang merupakan orang yang dikenal korban. Hanya menasehati orang untuk waspada terhadap orang asing sama sekali tidaklah cukup. Tak jarang, orang itu mempunyai posisi di atas korban, seperti orang tua ke anak, atau guru ke murid. And in most cases, si korban jadi takut untuk cerita. Kadang yang terjadi kalau si korban cerita malah victim-blaming, atau si pelaku menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan karakter si korban. I think this part is a very parental or familial horror, especially because these things do happen.
Yang dijelajah secara tidak langsung di film ini juga adalah dualitas manusia. Si pelaku merupakan orang yang baik dan dipercayai. Tapi ia juga seorang pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak. Bahkan memfitnah orang yang melindungi anak-anak tersebut. Sering orang menganggap pelaku kejahatan tertentu adalah monster dan tidak mungkin manusia. Namun mereka tetap manusia, yang kadang punya sisi dermawan, punya orang yang mereka cintai, dan sebagainya. In my opinion, justru itulah yang lebih mengerikan, bahwa pelaku kekejian seperti itu adalah manusia yang mempunyai sifat manusia. Kadang kita unknowingly hidup bersama orang seperti itu, bahkan menganggap orang itu adalah orang baik.
Other Stuffs
Gue jarang melihat body horror di film Indonesia. Itupun jatuhnya ke gore, kayak Rumah Dara (is it a body horror tho?). Tapi film ini berhasil mencampur-adukan body horror, gore, Indonesian mystical horror, and bits of other horror (bad stuffs happen to children). Sayangnya, ilmu hitam sendiri tidak digali dengan dalam di film ini. Jadi kurang nendang, padahal yang gue nanti-nanti justru itu. Gue pribadi lebih ke arah jijik kalau lihat gore, tapi gak bakal kebayang. Yang bikin gue terngiang-ngiang justru horor yang dedemitnya gitu (kek yang adegan TV). Karena tidak tergali dalam, ilmu hitam ini datangnya rada abrupt dan gak bikin impression yang memorable di film ini.
On the other hand, build up misteri Ibu Mirah dan Murni udah bagus sih. Intriguing, reveal-nya pun juga memuaskan. Mungkin untuk menjaga mistri, sisi manusiawi Bu Mirah sedikit sekali yang diperlihatkan.
Cast Ratu Ilmu Hitam cukup solid, but I give extra credits for Hannah dan Muzzaki. Apalagi Muzzaki dengan jatah dialog yang cukup menghibur dan 'pemandu' penonton dalam beberapa misteri film ini. Sayang yang jadi final boss kurang menakutkan. Mungkin dipengaruhi juga dengan build up yang rada rushed.
Overall, Ratu Ilmu Hitam is a very solid Indonesian horror with good visual effects and cast, although rushed on the third act. It brings proper points on the reality of sexual harassment victims and how das sollen (law in the books) can not always bring justice. 8,5/10.