...lama-lama, cinta juga kadalruasa. -Dika
I'm not a big fan of Raditya Dika, boleh dibilang cuma sekedar penikmat. Buku Cinta Brontosaurus aja baru gue baca setengah. But, because I love his sense of humor, gue merelakan waktu gue untuk nonton film ini, meskipun gue rada males nonton film komedi lokal.
Dika (of course Raditya Dika!) adalah penulis baru yang skeptis dengan cinta setelah putus dengan Nina (Pamela Bowie). Untungnya Kosasih (Soleh Solihun) selalu sabar menemani Dika. Kosasih akhirnya mengatur kencan-kencan buta Dika. Sayang semuanya berakhir absurd. Hingga Dika bertemu dengan Jessica (Eriska Reinisa). Setelah Dika bisa merasakan kebahagiaan dengan Jessica, Dika harus berjuang agar bukunya bisa diadaptasi menjadi film yang berkualitas. Sayangnya, ide Soe Lim (Ronny P Tjandra) sering membuat Dika terganggu.
Cinta kadalruasa? Quote itu meningatkan gue pada quote di film Annie Hall (ok, I'm too addicted to Annie Hall) yang berbunyi : Love fades. Cinta memudar. Nope, film ini beda kok dari Annie Hall.
Sekali lagi, keluhan yang pertama kali ada di benak gue seperti kebanyakan film Indonesia : sinematografnya jelek. Efek visualnya juga jelek. Visual effect sih masih bisa gue maafin. Sinematografi? Nope, it's 2013 already. Come on, you gotta make Indonesian movies better and better! Laskar Pelangi aja yang notabene film 2008 bagus kok sinematografinya. Film ini gagal menangkap sisi arsetik (?) latar tempatnya. Dan sayangnya lagi, karena lebih sering meng-close up muka (yah, gak sampai muka doang yang kelihatan sih) akting pemainnya yang biasa menjadi tidak tertutupi.
Raditya Dika, you're clearly not Woody Allen, Stephen Fry or Steve Martin. Hey, gue cukup adil loh membandingkan Raditya dengan Allen, Fry, dan Martin, karena Allen dan Martin sama-sama komedian dan Fry adalah penulis dan komedian. Gue gak tahu apakah Raditya Dika niat beneran jadi aktor atau sekedar terpaksa memerankan dirinya sendiri. Karakternya terasa cukup datar disini. Atau memang karakter Dika seperti itu? Kalaupun memang karakter Dika agak stoic, kan bisa diimprovisasi. Sebenarnya juga gak apa-apa kalau Raditya Dika tidak memerankan dirinya sendiri, kayak film Invictus. Nelson Mandela masih hidup, tapi pamerannya Morgan Freeman.
Hmm, akting pemain-pemainnya gak ada yang parah banget sih, boleh dibilang avarage. Tapi Eriska Reinisa berhasil menonjolkan diri. Dia menutupi poker face-nya Raditya Dika dengan emosi yang berhasil dibawakannya. Gue suka aktingnya, padahal gue udah skeptis dia yang bakal jelek aktingnya. Habis kalau lihat film lokal, (hampir) selalu kecewa dengan akting cewek-ceweknya. Sampai sekarang, gue masih belum bisa menemukan aktris muda yang bisa melawan Dian Sastrowaradoyo, Ladya Cheryl, dan Cut Mini...
Gue jadi ingat kasus The Iron Lady, dimana para reviewer [termasuk gue (?)] menganggap bahwa film itu gak tahu mau fokus kemana. Nah, film ini juga membawa dua topik yang kurang tergali, yaitu perjuangan Dika sebagai penulis dan hubungannya dengan Jessica. Di bagian belakang, ditambah pula dengan persahabatan Dika dan Kosasih. Film ini mencoba untuk memberika dua konflik yang sayangnya berjalan dengan shallow. Dua konflik itu kurang tergali dengan baik. Sebenarnya gak apa-apa kok film ini jadi lebih fokus ke romance kayak Annie Hall, When Harry Met Sally, (500) Days of Summer, dll. Hey, not all of rom-com movies are bad. Ketiga film itu menggali hubungan antara dua pemain utamanya dengan baik. Oh iya, humor di film ini bagaikan (ceilah) roller coaster, naik-turun. Kadang-kadang lucu, kadang-kadang garing, kadang-kadang juga kurang 'nendang'.
Overall, I'm pretty disappointed by this movie. 4,3/10
pic cr : 21cineplex.com
tabloidbintang.com
tribunnews.com
muvila.com
Cinta Brontosaurus
February 17, 2022