Cinema Paradiso #8: Artikel Sok Angsty dan Melankolis Tentang "5 Centimeters per Second"
Type Here to Get Search Results !

Cinema Paradiso #8: Artikel Sok Angsty dan Melankolis Tentang "5 Centimeters per Second"

Pic cr: sepasangkata.wordpress.com

Biasanya, kalau gue mau ngomong tentang satu film, gue bakal review film itu dan nilai aspek efek, sinematografi, akting, plot, dsb.  Lalu, gue bakal menentukan nilai film itu.  Well, hal-hal itu tadinya akan gue lakukan untuk film 5 centimeters per second.  But in the end, gue memutuskan untuk bacot tentang perasaan dan pemikiran gue setelah menonton film itu.

THERE'S F**KIN SPOILER IN THIS POST!!!

Sebelum gue nonton film ini, cuma ada satu film yang benar-benar membuat gue berharap film itu berakhir bahagia, yaitu Never Let Me Go.  Hanya ada dua film yang membuat gue depresi berhari-hari setelah nonton film itu, yaitu Magnolia dan Blue Valentine.   5 Centimeters per Second masuk ke dua kategori tersebut.

Gue gak merasa langsung depresi setelah menontonnya.  Tapi gue membiarkan pikiran gue melayang-layang tentang film ini.  Kenapa?  Karena waktu gue mikirin film ini, terjadi kemacetan dalam proses boker gue.  

Lu mau tahu fakta super kocak?  Gue berharap nih film berakhir bahagia, tapi gue tahu gue bakal mencaci maki film ini kalau film ini dapet happy ending.  But I just can't stand the melancholy and bitterness in this film's ending!  I didn't even know why I feel so mad, depress, and angsty about the ending.  Bahkan perasaan yang gue rasakan lebih dari yang gue rasakan setelah menonton Never Let Me Go, Magnolia, ataupun Blue Valentine.  Gue juga udah banyak nonton film romance yang tidak berakhir bahagia seperti Annie Hall, (500) Days of Summer, Remains of the Day, dan tentu saja, Blue Valentine.  Lalu gue sadar bahwa gue benci ending-nya bukan karena Takaki dan Akari tidak bersama alias pacaran di akhir film.

Apa yang terjadi pada Takaki merupakan salah satu ketakutan gue.

Takaki tidak menggunakan kesempatan dan keberuntungannya sama sekali.  Pada kesempatan pertama, Takaki diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan terdalamnya pada Akari.  Dia tidak menggunakan kesempatannya.  Selanjutnya, Takaki diberi kesempatan untuk melupakan Akari dan melanjutkan kehidupannya.  Tidak hanya sekedar melanjutkan kehidupannya, tapi ia juga diberi kesempatan untuk tidak merasakan kepahitan hidup dan kesepian.  Namun, Takaki malah terus memandang jauh dan mengharapkan sesuatu tanpa memperjuangkan hal itu.  Ia tidak melihat sekelilingnya dan berjuang untuk hal yang lebih mudah diperjuangkan.  And he lost the second chance.  Akibatnya dia harus hidup dalam a pool of (un)happiness.  Sama seperti ababil galau lainnya, dia susah move on dari orang yang dicintainya. 

Hal-hal itulah yang gue takutkan.  Gue takut suatu saat nanti hidup gue dipenuhi ketidakbahagiaan, what ifs, dan susah move on dari memori.  Inilah yang membuat 5 Centimeters per Second membuat gue lebih depresi daripada film Magnolia dan Blue Valentine.  

Bagaimana dengan nasib Akari?  Akari -sekilas- bisa hidup lebih baik daripada Takaki.  Dia memang juga tidak berani mengungkapkan perasaannya, tapi Akari berhasil membuka dirinya dan move on dari masa lalunya dengan Takaki.   

Pic cr: agilcahyap.wordpress.com

Betapa kontrasnya Takaki dan Akari, bukan?  Kita juga bisa melihat dari adegan crossrail mereka, dimana Takaki menunggu untuk melihat wajah Akari sementara Akari tidak menunggu Takaki.  Itu artinya hati Takaki masih saja menunggu Akari, sedangkan Akari sudah 'melepaskan' Takaki dan bertunangan dengan pria lain.

Salah satu blogger merasa marah bagaimana Takaki 'diperlakukan' secara tidak adil oleh sang penulis, karena hanya Takaki lah yang menderita di film ini.  Tadinya gue merasa marah juga karena alasan yang sama dengan blogger tadi.  Tapi pada akhirnya, Takaki memang 'pantas' mendapatkan 'hukuman' seperti itu.  Ia harus membayar harga yang mahal untuk kebutaannya dan kepengecutannya.  

Gue rasa -dalam hidup-, seseorang harus melakukan kesalahan agar orang lain belajar dan atau tidak mengulang dari kesalahan yang telah dilakukan.  Seandainya Takaki tidak melakukan kesalahan, apakah penonton akan belajar sesuatu dari film ini?  Seandainya film ini berakhir bahagia, apakah penonton akan menyadari sesuatu dari film ini?

Gue udah tahu jawaban dari dua pertanyaan tadi.  But I can't help to imagine that Takaki and Akari have a happy ending.         

Top Post Ad

Below Post Ad