diambil dari 21cineplex.com |
Ave Maryam merupakan film Indonesia tahun 2019 yang disutradarai dan ditulis oleh Ertanto Robby Soediskam. Film ini telah diputar oleh berbagai film festival internasional, salah satunya adalah Hanoi International Film Festival.
Berlatar belakang di Semarang tahun 1990-an, film ini bercerita tentang kehidupan Suster Maryam (Maudy Koesnadi) yang merawat suster-suster yang sudah tua. Kehidupannya yang teratur mulai mengalami perubahan ketika Romo Yosef (Chicco Jerikho) datang untuk mengajar orkestra natal. Di saat yang sama, Suster Maryam juga mendapat tugas untuk menjaga Suster Monic yang misterius. Iman dan tekad Suster Maryam diuji ketika Romo Yosef mulai menunjukkan ketertarikan kepada Suster Maryam.
MINI SPOILER ALERT!
diambil dari alinea.id |
Film ini mungkin bisa dikategorikan sebagai tipikal film artistik yang slow dan minim dialog. Gue biasanya gak nonton film ini, but the shots in the trailer are just alluring me! Ada satu adegan yang menurut gue terinspirasi dari In The Mood for Love, yaitu ketika Romo Yosef dan Suster Maryam menghentikan mobil ketika hujan. Adegan itu mengingatkan gue ketika Mr. Chow dan Mrs. Chan bertemu di tengah hujan.
Salah satu aspek yang gue suka adalah bagaimana film ini bisa menggambarkan perubahan yang dibawa oleh Romo Yosef. Menit-menit pertama memperlihatkan keseharian Suster Maryam seperti memasak, merapikan tempat tidur, merawat suster-suster yang tua, berdoa, dll. Keseharian tersebut tenang, teratur, dan bisa diprediksi. Lalu ketika Romo Yosef datang, dia membawa musik yang penuh kehidupan dan gairah.
Adegan itu, sekaligus adegan mereka berdua merayakan ulang tahun di pantai, sepertinya menjawab mimpi Suster Maryam sebelumnya tentang ombak yang bergelombang. Romo Yosef sebenarnya telah menjawab keinginan dan mimpi Suter Maryam.
diambil dari tirto.id |
Dari unsur dialognya, gue itu rada peevish karena aktornya sama sekali gak ngomong pakai logat Jawa. Sehingga kurang menangkap suasana Jawa Tengah. I think they didn't even try. Di satu sisi, mungkin memang tidak menambah apa-apa dari sisi cerita. Namun gue pribadi merasa kurang bisa hanyut dalam filmnya.
Minimnya dialog juga membuat motivasi para tokoh kurang tergali. Gue in a way bisa mengerti mengapa Suster Maryam bisa tertarik dengan Romo Yosef. Romo Yosef bagaimanapun juga merupakan orang yang baru, merupakan sesuatu yang berbeda dari kehidupan rutinnya. Maudy Koesnadi juga bisa menunjukkan ketertarikan Suster Maryam terhadap Romo Yosef dengan cara yang subtle. Maudy Koesnadi tidak banyak berkata, namun ia sukses berakting dengan bahasa tubuhnya, terutama ekspresi matanya.
Namun dari Romo Yosef sendiri, kok gue kurang bisa menerima ya dia suka dengan Suster Maryam, haha. Kurang jelas bagi gue permulaan rasa sukanya, atau alasannya. Apakah itu dimulai karena rasa tertarik yang tulus, atau sekedar bentuk rebellion?
Selain motivasi tokoh, pergumulan iman mereka pun juga kurang dieksplor atau tergali. Gue merasa Suster Maryam dan Romo Yosef (terutama Maryam) agak banting setir ketika tadinya mereka berani untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi, lalu mereka seperti merasa berdosa. Mungkin ini juga karena adegannya dipotong. Alasan kenapa Maryam bisa mencapai keputusan akhirnya juga kurang terjawab bagi gue.
Suster Monik yang mendapat porsi yang cukup signifikan di film ini juga kurang jelas perannya, atau hubungannya dengan dua tokoh utama film ini. Ada beberapa indikasi bahwa ia mempunyai masa lalu dengan Romo Yosef, tapi tidak ada penjelasan eksplisit dari film. Entahlah, kalau dia merupakan tokoh yang memang tidak mempunyai tujuan jelas, seharusnya tidak mendapat screen time yang cukup signifikan di film. Akan lebih baik jika porsinya dia untuk menggali Yosef dan Maryam lebih dalam.
In conclusion, Ave Maryam is a visually-pleasing film with emotional ending and fantastic actors. Unfortunately, the story leaves many questions unanswered and its characters' motivations unexplained. 7/10