zerothreetwo.com |
The Imitation Game adalah film drama 2014 yang disutradarai oleh Morten Tyldum dan ditulis oleh Graham Moore. Film ini diadaptasi dari buku Alan Turing: The Enigma yang dikarang oleh Andrew Hodges, seorang ahli matematika. Alan Turing adalah seorang..... cryptanalyst, filsuf, ahli matematika, ilmuwan komputer, pelari, dan logician. Singkatnya, dia merupakan orang yang sangat hebat dan jenius. Pada tahun 1952, Turing diadili karena ia mengakui dirinya sebagai gay. Pada 24 Desember 2013, Ratu Elizabeth II memberikan pengampunan pada Turing.
Banyak orang tidak tahu, tetapi Jerman mempunyai mesin bernama enigma pada Perang Dunia II. Enigma berfungsi untuk memberikan sandi pada seluruh tentara Jerman. Tidak ada seorang pun yang bisa memecahkan sandi-sandi tersebut. Namun Alan Turing (Benedict Cumberbatch) yakin bahwa ia bisa memecahkan misteri enigma. Turing tentu saja tidak sendirian dalam usahanya untuk memecahkan enigma. Ia bekerja sama dengan Hugh Alexander (Matthew Goode), John Cairncross (Allen Leech), dan Peter Hilton (Matthew Beard). Turing cepat tidak disukai karena kemampuan interaksi sosialnya yang rendah dan kebrutalannya dalam proyek enigma.
Karena Turing memecat dua orang yang dianggapnya tidak berguna, ia menggunakan TTS untuk mencari dua orang yang bisa berkontribusi dalam proyek enigma. Dua orang yang diterima adalah Joan Clarke (Keira Knightley) dan Jack Good (James Northcote). Joan dengan cepat mempunyai tempat yang spesial di hati Alan. Lewat Joan, Alan belajar untuk memahami manusia, berkompromi, dan membuat lelucon super jayus.
Ada beberapa hal yang bikin gue kurang puas dengan film ini. Film ini mempunyai topik yang sangat menarik, tapi penyajiannya lah ya kurang bagus. The Imitation Game menunjukkan berbagai dimensi dari Alan Turing. Penonton bisa melihat Turing yang jenius, Turing yang blak-blakan, Turing yang baik hati, Turing yang polos, Turing yang passionate dengan sains, dan Turing yang gay. Tapi tetap saja hal itu kurang memuaskan bagi gue.
Gue mempunyai beberapa opini mengapa The Imitation Game terasa kurang memuaskan bagi gue. Pertama, it's obvious that The Imitation Game is about that cold-rude-anti-social-genius guy who saves the world. And guess what? He's a gay too! What a refreshing plot!
The Imitation Game kurang memerlihatkan seberapa mengerikan Perang Dunia II. Memang Perang Dunia II bukanlah fokus utama The Imitation Game, tapi gue rasa akan lebih baik bila penonton dapat memahami mengapa atasan Turing terus menekannya dan mengapa kolega Turing kecewa dengan keengganan Turing untuk memecahkan kode sehari-hari. Beberapa penonton mungkin akan menganggap dengan cepat bahwa atasan dan kolega Turing hanyalah orang-orang dangkal yang tidak memahami visi Turing. Memang ada beberapa adegan perang, tapi adegan-adegan itu kurang kejam dan berdarah. Intinya, film ini kurang menimbulkan mixed feeling antara kepesimisan orang-orang di sekitar Turing serta Turing's overconfidence. Memang pada akhirnya mesin Turing bekerja, but still...it's not really exciting.
Gue menemukan bahwa hidup Alan Turing cukup ironis dan tragis. Dia (dan koleganya) memperpendek Perang Dunia II, namun ia malah dikebiri secara kimia dan bunuh diri karena tidak bisa bekerja lagi. Turing dikebiri secara kimia bukan karena ia memperkosa seseorang, atau melakukan kejahatan besar, tapi ia dikebiri secara kimia hanya karena ia gay. Keironisan dan tragedi ini bisa digunakan untuk memancing empati atau simpati penonton. Memang penderitaan Turing setelah ia menjalani hukumannya sempat diperlihatkan, tapi hal itu dilakukan secara berantakan, terburu-buru, dan terlihat last minute.
thestar.com |
Menggunakan orientasi seksual Turing mungkin akan menuai kritikan pedas dari reviewers karena itu hanya menambah daftar hal-hal klise dalam film ini. Selain kritikan pedas, ada kemungkinan bahwa sebagian besar penonton akan memandang Turing sebagai gay daripada seorang ilmuwan. Namun gue pribadi tertarik untuk mengetahui reaksi Turing terhadap orientasi seksualnya. Entahlah, dari dulu gue menyukai bagaimana seseorang yang 'berbeda' bisa menerima dirinya sendiri atau melawan dirinya sendiri karena keunikannya.
Applause buat suami gue, Mr. Benedict Cumberbatch, yang memerankan Alan Turing secara brilliant. Gue rasa porsi emosional yang dibawakan oleh Cumberbatch sudah dalam porsi cukup. Gak lebay, tapi juga gak emotionless. Ketika tokoh Turing dalam keadaan yang penuh emosi, Cumberbatch tidak langsung mengeluarkan emosinya, tapi dia juga menahannya dan berusaha menutupinya. Alex Lawther, pemeran Turing ketika muda, juga tampil dengan brilliant. Sama seperti Cumberbatch, ia tidak hanya menunjukan emosi yang dirasakan Turing, tapi juga bagaimana Turing menahan dan menutupi perasaan sesungguhnya.
In the end of the day, The Imitation Game bukanlah film yang spektakuler dan revolusioner, tapi film ini mempunyai cerita yang sangat menarik dan nilai plusnya, cerita itu berdasarkan kejadian nyata.